Monday, July 6, 2009

Menyentuh wanita dalam keadaan berwudhu'

. Monday, July 6, 2009


Menyentuh wanita dalam keadaan berwudhu'



Tanya :

Apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu ?

Jawab :

Pendapat yang shahih adalah bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, kecuali telah keluar sesuatu darinya (kentut-penj). Dalilnya adalah hadits shahih tentang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mencium sebagian isteri-isterinya namun beliau langsung keluar melakukan shalat tanpa berwudhu lagi. Sebab, asal hukumnya adalah tidak batal hingga ada dalil yang jelas dan shahih yang membatalkannya. Juga, disebabkan seseorang yang berwudhu telah menyempurnakan kesuciannya berdasarkan dalil syar'i sedangkan sesuatu yang telah diperkuat/mantap dengan dalil syar'i tidak mungkin dibuang/ditolak kecuali dengan dalil syar'i pula. Jika ada yang mengatakan (dalil kami adalah –penj) firman Allah Ta'ala : "atau kamu telah menyentuh perempuan" (Q.,s. an-Nisa' : 43/al-Maidah:6). Maka jawabnya : bahwa yang dimaksud dengan (menyentuh) dalam ayat tersebut adalah jima' (bersetubuh dengan isteri) sebagaimana riwayat yang shahih dari (penafsirnya) Ibnu 'Abbas . ( al-Fatâwa al-Jâmi'ah lil Mar-ah al-Muslimah, Amin bin Yahya al-Wazzan (ed), penerbit Dar al-Qâsim, Riyadh, I/36)
Hukum Wanita Yang Mandi Setelah Jima', Kemudian Keluar Cairan Dari Kemaluannya
Senin, 29 Maret 04


Tanya :

Hukum Wanita yang mandi setelah jima', kemudian keluar cairan dari kemaluannya

Jawab :

Tidak wajib baginya mandi, sebab perempuan tidak wajib mandi kecuali karena salah satu dari dua hal saja : Karena jima' , meski tidak sampai inzal (orgasme) Karena inzal meski tanpa jima' Kalau memang terjadi inzal, maka hukumnya wajib baginya untuk mandi
Mencium Istri Tidak Membatalkan Wudhu’
Kamis, 01 April 04
Tanya :

Suami saya selalu mencium saya bila akan berangkat ke luar rumah, bahkan bila hendak keluar menuju masjid. Terkadang, saya merasa dia mencium saya dalam kondisi bernafsu; apa hukum syari’at mengenai status wudlu’nya?

Jawab :

Dari Aisyah Radhiallaahu anha bahwasanya Nabi Shalallaahu alaihi wasalam mencium salah seorang isteri beliau, kemudian keluar untuk melaksanakan shalat dan beliau tidak ber-wudlu’ lagi.
Hadits ini menjelaskan hukum tentang menyentuh wanita dan men-ciumnya (bagi suami-penj.); apakah membatalkan wudlu’ atau tidak? Para ulama Rahimahullaah berbeda pendapat mengenainya:
• Ada pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudlu’ dalam kondisi apapun.
• Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh wanita dengan syahwat, membatalkan wudlu’ dan jika tidak, maka tidak membatalkan.
• Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa hal itu tidak membatalkan wudlu’ secara mutlak (sama sekali), dan inilah pendapat yang rajih (kuat).
Yang dimaksud, bahwa seorang suami bila mencium istrinya, menyentuh tangannya atau menggenggamnya sementara tidak menyebabkannya keluar mani dan dia belum berhadats maka wudlu’nya tidak rusak (batal) baik baginya ataupun bagi istrinya. Hal ini dikarenakan hukum asalnya adalah wudlu’ tetap berlaku seperti sedia kala hingga didapati dalil yang menyatakan bahwa wudlu’ tersebut sudah batal. Padahal tidak terdapat dalil, baik di dalam kitabullah maupun sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang menyatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudlu’.
Maka berdasarkan hal ini, menyentuh wanita meskipun tanpa pelapis, dengan nafsu syahwat, menciumnya dan menggenggamnya; semua ini tidak membatalkan wudlu’. Wallahu a’lam.
( Kumpulan Fatwa-Fatwa Seputar Wanita dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 20. )
Hukum Membaca Al-Qur’an Tanpa Wudhu’
Kamis, 01 April 04
Tanya :

Apakah hukum orang yang membaca Al-Qur’an sementara dia dalam kondisi tidak berwudlu’, baik dibaca secara hafalan maupun dibaca dari mushaf?

Jawab :

Seseorang boleh membaca Al-Qur’an tanpa wudlu’ bila bacaannya secara hafalan sebab tidak ada yang mencegah Rasulullah membaca Al-Qur’an selain kondisi junub. Beliau pernah membaca Al-Qur’an dalam kondisi berwudlu’ dan tidak berwudlu’.
Sedangkan terkait dengan Mushhaf, maka tidak boleh bagi orang yang dalam kondisi berhadats untuk menyentuhnya, baik hadats kecil maupun hadats besar. Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Al-Waqi’ah: 79). Yakni orang-orang yang suci dari semua hadats, najis dan syirik.
Di dalam hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang dimuat di dalam surat beliau kepada pegawainya yang bernama Amru bin Hizam, beliau menyebutkan, لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرًا.
“Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang dalam kondisi suci.”
Hal ini merupakan kesepakatan para Imam kaum Muslimin bahwa orang yang dalam kondisi berhadats kecil ataupun besar tidak boleh menyentuh Mushhaf kecuali ditutup dengan pelapis, seperti mushaf tersebut berada di dalam kotak atau kantong, atau dia menyentuhnya dilapisi baju atau lengan baju.
( Kumpulan Fatwa-Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan, Dalam Kitab Tadabbur Al-Qur’an, hal. 44. )
Hukum Gerakan Sia-Sia Di Dalam Shalat
Kamis, 01 April 04
Tanya :

Banyak orang yang melakukan gerakan sia-sia di dalam shalatnya, apakah ada batas tertentu dalam bergerak yang membatalkan shalat? Apakah batasannya itu dengan tiga kali gerakan berturut-turut ada dasarnya? Apa yang Anda nasehatkan kepada orang yang sering melakukan gerakan sia-sia di dalam shalat?

Jawab :

Yang wajib bagi seorang Mukmin dan Mukminah adalah thuna’ninah (tenang dan tidak tergesa-gesa) di dalam shalat, karena thuma’ninah termasuk rukun shalat berdasarkan riwayat di dalam kitab Ash-Shahihain, bahwa beliau Shalallaahu alaihi wasalam memerintahkan kepada orang yang tidak thuma’ninah di dalam shalatnya untuk mengulangi shalatnya.*1) Dan yang disyari’atkan kepada setiap Muslim dan Muslimah adalah khusyu’ di dalam shalat, konsentrasi dan menghadirkan seluruh perhatian dan hatinya di hadapan Allah Subhannahu wa Ta'ala, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.” (Al-Mukminun: 1-2).

Dan dimakruhkan melakukan gerakan sia-sia terhadap pakaiannya, jenggotnya atau lainnya. Jika banyak melakukan itu dan berturut-turut, maka sejauh yang kami ketahui, bahwa itu diharamkan menurut syari’at, dan itu berarti membatalkan shalat.

Untuk hal ini tidak ada batasan tertentu. Sedangkan pendapat yang membatasinya dengan tiga kali gerakan, ini merupakan pendapat yang lemah karena tidak ada dasarnya. Adapun yang dijadikan landasan adalah gerakan sia-sia yang banyak dalam keyakinan orang yang shalat itu sendiri. Jika orang yang shalat itu berkeyakinan bahwa gerakan sia-sianya itu banyak dan berturut-turut, maka hendaklah ia mengulangi shalatnya jika itu shalat fardhu, di samping itu hendaknya ia bertaubat dari perbuatan tersebut. Nasehatku untuk setiap Muslim dan Muslimah, adalah hendaklah memelihara pelaksanaan shalat disertai kekhusyu’an di dalamnya serta meninggalkan gerakan sia-sia dalam pelaksanaannya walaupun sedikit, hal in karena agungnya perkara shalat, dan karena shalat itu sebagai tiang agama Islam dan rukun Islam terbesar setelah syahadatain. Lagi pula, pada hari kiamat nanti, yang pertama kali dihisab (dihitung) dari seorang hamba adalah shalatnya. Semoga Allah menunjuki kaum Muslimin kepada jalan yang diridhai-Nya.
*1)Al-Bukhari, kitab Al-Adzan (575), Muslim, kitab Ash-Shalah (397).
( Fatawa Muhimmah Tata’allaqu Bish Shalah, hal. 41-42, Syaikh Ibnu Baz. )

Menghadiahkan Pahala Puasa Untuk Orang Yang Sudah Meninggal
Rabu, 07 April 04
Tanya :

Apakah boleh menghadiahkan pahala puasa untuk orang yang telah meninggal?

Jawab :

Amal sunat yang mutlak menyatakan bolehnya menghadiahkan pahala puasa kepada yang telah meninggal dunia dan insya Allah pahala-nya sampai kepadanya.
( Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa Ash-Shiyam, disusun oleh Rasyid Az-Zahrani, hal. 124. )
Hukum Mencium Bagi yang Berpuasa
Jumat, 02 April 04
Tanya :

Jika seorang pria, baik muda maupun tua, mencium isterinya dalam keadaan berpuasa, apakah ia berdosa?

Jawab :

Seorang yang berpuasa bila mencium isterinya tidaklah berdosa, baik itu yang masih muda maupun yang sudah tua. Hal ini berdasarkan riwayat dalam Shahih Muslim¸ bahwa Umar bin Abi Salamah bertanya kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, “Apakah orang yang sedang berpuasa boleh mencium?” Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Tanyalah ini”, maksud-nya adalah Ummu Salamah, lalu ia (Ummu Salamah) mengabarkan bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam pernah melakukan itu. Umar berkata lagi, “Wahai Rasulullah, Allah kan telah mengampuni dosamu yang terdahulu maupuan yang kemudian.” beliau bersabda: “Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah yang paling bertakwa kepada Allah di antara kalian dan paling takut kepada-Nya”.
Bila Terdapat Pembatas (Tabir) Antara Kaum Pria dan Kaum Wanita, Maka Masih Berlakukah Hadits Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam (sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan)
Sabtu, 27 Maret 04
Tanya :

Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya: Jika terdapat pembatas (tabir) di suatu masjid yang memisahkan tempat shalat kaum pria dengan tempat shalat kaum wanita, apakah masih berlaku sabda Rasul Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi: "Sebaik-baiknya shaf pria adalah shaf terdepan dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terakhir, dan sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terdepan." Ataukah tidak berlaku lagi jika demikian keadaannya, sehingga sebaik-baik shaf wanita adalah yang terdepan? Berilah kami jawaban, semoga Allah menunjuki Anda

Jawab :

Alasan bahwa sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang paling belakang ialah karena shaf yang paling belakang itu adalah shaf yang paling jauh dari kaum pria, semakin jauh seorang wanita dari kaum pria maka semakin terjaga dan terpelihara kehormatannya, dan semakin jauh dari kecenderungan terhadap kemaksiatan. Akan tetapi jika tempat shalat kaum wanita jauh dan terpisah dengan dinding atau pembatas sejenis lainnya, sehingga kaum wanita itu hanya mengandalkan pengeras suara dalam mengikuti imam, maka pendapat yang kuat dalam hal ini adalah, bahwa shaf yang pertama ada yang lebih utama dari pada shaf yang dibelakangnya dan seterusnya, karena shaf terdepan ini lebih dekat kepada kiblat.
Suami Mencium dan Mencumbui Istrinya di Siang Hari Ramadhan
Sabtu, 27 Maret 04
Tanya :

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Jika seorang pria mencium istrinya di bulan Ramadhan atau mencumbuinya, apakah hal itu akan membatalkan puasanya atau tidak?

Jawab :

Suami yang mencium istrinya dan mencumbuinya tanpa menyetubuhinya dalam keadaan berpuasa, adalah dibolehkan dan tidak berdosa, karena Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mencium istrinya dalam keadaan berpuasa, dan pernah juga beliau mencumbui istrinya dalam keadaan berpuasa. Akan tetapi jika dikhawatirkan dapat terjadi perbuatan yang diharamkan Allah Subhaanahu wa Ta'ala karena perbuatan itu dapat membangkitkan syahwat dengan cepat, maka hal demikian menjadi makruh hukumnya. Jika mencium dan mencumbui menyebabkan keluarnya mani, maka ia harus terus berpuasa dan harus mengqadha puasanya itu tapi tidak wajib kaffarah baginya menurut sebagian besar pendapat ulama, sedangkan jika mengakibatkan keluarnya madzi maka hal itu tidak membatalkan puasanya menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, karena pada dasarny



Posting Yang Berkaitan Berdasarkan Kategori :



0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 
ptcpaidproof.blogspot.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com