Monday, June 29, 2009

Teori Jendela Pecah

. Monday, June 29, 2009

Teori Jendela Pecah


Selama tahun 80-an kriminalitas di New York City mencapai rata-rata
lebih dari 2000 pembunuhan dan 600.000 tindak kekerasan serius dalam setahun.

Namun secara mendadak situasi tersebut berubah drastis di awal tahun 90-an. Di tahun 1996 kejahatan menurun drastis menjadi
sepertiga. Kekerasan di kereta bawah tanah bahkan turun sebanyak 75 persen. Bagaimana hal itu bisa terjadi?


Untuk kasus kereta bawah tanah penurunan ini dimulai dari penerapan teori Jendela Pecah (Broken Windows) yang digagas oleh kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling.



Wilson dan Kelling berpendapat
bahwa kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari
ketidakteraturan.



Jika sebuah jendela rumah pecah dan dibiarkan saja, siapapun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di situ tidak ada yang peduli atau bahwa rumah itu tidak berpenghuni.



Dalam waktu singkat akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke
sekitar tempat itu.



Ini sebuah teori epidemi untuk kejahatan. Menurut teori ini kejahatan bersifat menular - persis seperti trend mode pakaian -sehingga dengan awal yang remeh seperti memecah sebuah kaca jendela, perbuatan yang sama segera menyebar ke seluruh wilayah.

Pada pertengahan 80-an, kriminolog George Kelling disewa oleh New York Transit Authority sebagai konsultan, maka ia meminta jawatan itu
untuk menerapkan teori Broken Windows di jaringan kereta bawah tanah.

Direktur baru yang ditunjuk mengurus hal itu, David Gunn, menerapkan teori tersebut dengan fokus melawan grafiti di kereta bawah tanah.

Banyak pejabat di direktorat kereta
bawah tanah yang menganjurkan agar dia lebih memusatkan perhatian kepada kejahatan yang lebih serius daripada mengurus masalah corat coret. Gunn tetap bertahan,
"Coret-coret ini merupakan simbol keambrukan sistem ini," katanya.

Maka Gunn melancarkan aksi melawan corat-coret. Dia tahu bahwa remaja yang melakukan grafiti memerlukan 3 hari untuk memoles dinding gerbong dengan cat putih, menunggu kering, dan menggambarnya di hari ketiga.

"Begitu mereka selesai menggambar, malamnya kami
cat lagi gerbong tersebut sehingga keesokan harinya tak ada yang sempat melihat karya mereka," demikian kata Gunn.



Ketika sebuah gerbong dicorat-coret, maka corat-coret itu dihilangkan selama masa istirahat, atau gerbong itu tidak dioperasikan dulu. Gagasan di balik kebijakan itu adalah menyampaikan pesan yang gamblang kepada para vandal, bahwa mereka tidak disukai.

Program pembersihan grafiti oleh Gunn sudah berlangsung sejak 1984 hingga 1990 saat Transit Authority mengangkat William Bratton sebagai komandan polisi kereta bawah tanah yang baru.



Seperti halnya Gunn, Bratton juga penganut teori Broken Windows. Alih-alih fokus pada kejahatan serius, dia justru fokus untuk membasmi kebiasaan remeh
yaitu naik kereta tanpa karcis. Menurutnya, naik kereta tanpa karcis juga merupakan simbol ketidakteraturan yang menjadi pangkal pelanggaran-pelanggaran yang lebih serius. Hasilnya luar biasa.

Penjagaan pada gerbang tiket menghasilkan penangkapan-penangkapan yang tak diduga sebelumnya. Setiap penangkapan ibarat membuka kotak hadiah
yang penuh kejutan. Mainan apa yang didapat hari ini? Senjata api? Pisau? Karcis palsu? Uang palsu? Bahkan kadang-kadang ada tersangka pembunuhan.



Tak lama kemudian orang-orang jahat mulai berpikir lebih panjang, setidaknya meninggalkan
senjatanya dan membayar karcis ketika naik kereta.

"Kami mulai menegakkan hukum dalam kasus-kasus ringan
seperti mabuk-mabukan di tempat umum, buang air kecil sembarangan, termasuk membuang botol di jalanan," demikian kata Bratton.



Ketika kriminalitas mulai
menurun di kota itu, secepat penurunan di kereta bawah tanah, Bratton dan Giuliani menunjuk ke sebab yang sama. Kejahatan-kejahatan kecil, pelanggaran-pelanggaran remeh, yang lazimnya dianggap tidak signifikan, kata mereka, merupakan titik lenting (tipping point) menuju kejahatan-kejahatan besar.



Demikianlah seperti dikutip dari buku Tipping Point tulisan Malcolm Gladwell.

Playboy sebagai
simbol

Seperti yang dikatakan Gunn dan Bratton, corat-coret dan pelanggaran tiket walaupun tampak kecil dan remehsebenarnya adalah 'simbol' keambrukan sistem. Bagaimana dengan kasus yang sedang marak tentang ijin majalah Playboy Indonesia?

Yang menjadi masalah utama dengan Playboy bukan sekedar 'keberanian' gambarnya.

Kata pihak Playboy, ada majalah yang lebih vulgar dari mereka toh juga diijinkan?



Ya, boleh jadi ada majalah lain yang lebih vulgar daripada Playboy, namun yang menjadi esensi keberatan masyarakat luas sebenarnya dipicu oleh posisi Playboy sebagai simbol.


Playboy adalah 'simbol dunia' majalah erotisme (dan memang itulah yang diinginkan pendirinya). Brand name Playboy identik dengan erotisme, apapun isi di dalamnya apakah mungkin teknologi, tips kesehatan, atau
apapun yang saya tidak tahu. Begitu disebut Playboy, maka yang
tergambar dalam benak masyarakat luas adalah kontes aurat dan erotisme.

Playboy adalah simbol budaya erotisme. Mengijinkan Playboy versi Indonesia - walaupun misalnya hanya untuk kalangan terbatas - sama halnya mengesahkan simbol budaya erotisme itu untuk menjadi budaya sah bangsa Indonesia.



Ada sementara pihak yang berlindung dengan dalih nilai seni.
Dalam hal ini kita perlu tegas bahwa nilai seni erotisme bukanlah
nilai luhur agama. Selama nilai seni tidak bertentangan dengan agama
maka nilai
tersebut sah-sah saja sebagai nilai luhur bangsa. Namun
'nilai seni erotisme' jelas bertentangan dengan nilai luhur agama.


Selain itu, menyamakan nilai seni erotisme dengan seni yang lain sama saja dengan merendahkan masyarakat seni.


Apa akibatnya bila Playboy Indonesia diijinkan?



Kembali ke teori Broken Windows, hal remeh ini akan menjadi awal uji kasus untuk memberi toleransi kepada bisnis dan budaya erotisme yang lebih dahsyat karena Playboy adalah simbol utama erotisme.



Boleh jadi nantinya akan terjadi tuntutan hak oleh
sebagian kalangan (dengan dalih hak asasi)
untuk membuka klub striptease dan semacamnya. Ijin Playboy Indonesia bisa menjadi tipping point keruntuhan moral bangsa.

Bukannya Playboy ini direncanakan hanya beredar di kalangan terbatas?



Playboy ibarat kaca pecah. Sangat mungkin dengan diijinkannya Playboy akan merembet ke seluruh lapisan masyarakat sebagai pembenaran kolektif bahwa nilai erotisme sudah diterima sebagai nilai luhur budaya bangsa ini.



Yang terbatas awalnya hanya pembacanya, padahal di balik itu ada percetakan, model, agency, penulis, distribusi, dan berkali lipat orang lainnya yang terlibat.



Bagaimana halnya dengan
majalah Playboy bekas? Pengantarnya? Pedagangnya? Yang dianggap “terbatas” itu hanyalah puncak gunung es dari komunitas yang jauh lebih besar.



Kelompok khusus penikmat erotisme ini sebenarnya tak perlu dikasihani. Selama ini mereka sudah mencarinya dengan berbagai cara,
sama sekali tak perlu
dikasihani dengan majalah erotis versi resmi Indonesia.

Belum Mampu Tak Berarti Setuju

Seringkali ketidakmampuan sistem dimanfaatkan sebagian pihak sebagai dalih hukum. Misalnya, karena tidak mampu menanggulangi prostitusi, maka dilegalkan saja menjadi lokalisasi.



Demikian pula ketidakmampuan
sistem saat ini untuk menanggulangi majalah kuning dan tayangan erotis di televisi digunakan sebagian pihak menjadi dalih kelayakan Playboy dan majalah semacamnya.

Harus terus kita ingat bahwa tidak mampu bukan berarti setuju! Selama ribuan tahun telah terjadi prostitusi, tapi bukan berarti kita berhak melegalkan prostitusi.



Selama ribuan tahun terjadi kejahatan, bukan berarti lalu kita legalkan kejahatan. Dan kini kita belum mampu menanggulangi gelombang budaya erotisme, bukan berarti lalu kita melegalkannya. Hukum harus tegas dan punya acuan dasar yang jelas.



Di negeri ini kita bisa merujuk dasar negara dan undang-undang dasar sebagai acuan nilai, jika pun kita ragu dengan universalitas nilai luhur agama. Bagi orang dengan kecerdasan
spiritual (SQ) tinggi, ditinjau dari dasar-dasar hukum itu sudah jelas bahwa erotisme tak layak menjadi nilai luhur bangsa ini. Nilainya sama halnya dengan penyalahgunaan narkotika yang selamanya tak akan diakui agama sebagai nilai luhur.

Bangsa ini sudah kehilangan banyak hal untuk dibanggakan, semoga tidak dibuat semakin kehilangan jati diri.



Posting Yang Berkaitan Berdasarkan Kategori :



0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 
ptcpaidproof.blogspot.com is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com